Rabu, 13 Juni 2012

alangkah lucunya negeri ini

Negara Kesatuan Republik Indonesia
Bendera Merah Putih
Bendera Merah Putih
Garuda Pancasila
Garuda Pancasila
Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia yang terletak di Asia Tenggara, berada di posisi sangat strategis (menjadi incaran negara imperialisme – kapaitalisme) di antara benua Asia dan Australia serta antara Samudra Pasifik dan Samudra Hindia. Kata “Indonesia” berasal dari bahasa Yunani, yaitu Indos berarti “India” dan nesos yang berarti “nusa atau pulau”.
Kerajaan Nusantara
Sejarah Indonesia mulai terungkap ketika agama Hindu dan Buddha masuk ke nusantara melalui pelayaran dan membentuk kerajaan di pulau Sumatra dan Jawa sejak abad ke-6 hingga abad ke-14. Di era ini, berdirilah dua kerajaaan Nusantara yang kokoh dengan rakyatnya hidup makmur-harmonis. Sriwijaya menjadi kerajaan Buddha terbesar di bumi nusantara pada abad ke-8 dan Majapahit menjadi kerajaan terbesar dalam sejarah nusantara ini dengan rakyatnya yang Hindu-Buddha hidup dengan rukun, harmonis, makmur. Berdirilah Candi Borobudur (Buddha) bersamaan dengan Candi Prambanan (Hindu) dan candi-candi lain
Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia yang terletak di Asia Tenggara, berada di posisi sangat strategis (menjadi incaran negara imperialisme – kapaitalisme) di antara benua Asia dan Australia serta antara Samudra Pasifik dan Samudra Hindia. Kata “Indonesia” berasal dari bahasa Yunani, yaitu Indos berarti “India” dan nesos yang berarti “nusa atau pulau”.
Selanjutnya kedatangan pedagang Arab dari Gujarat-India membawa agama Islam. Berdirilah kerajaan-kerajaan kecil di pulau Andalas, Jawa, Borneo, Celebes dan pulau kecil lainnya.
Peta Nusantara
Peta Nusantara
Kolonialisme di bumi Nusantara
Di awal abad ke-16, berdatanglah negara-negara imperialisme mencari daerah-daerah sumber pertanian, perkebunan dan kekayaan alam lainnya di beberapa kerajaan kecil di Asia dan Afrika.
Portugis masuk melalui Malaka, mencoba menguasai Banten dan Sunda Kelapa tapi berhasil diusir dan akhirya menguasai Maluku. Abad ke-17, kolonialisme Belanda menguasai nusantara mengalahkan Inggris dan Portugal. Misi menjajah daerah dengan membonceng 3G (Gold, Glory, Gospel) turut menyebarkan ajaran Kristen di nusantara ini.
Belanda dengan VOC telah memecah belah kerajaan-kerajaan Islam di nusantara dan mengeruk kekayaan alam nusantara dengan paksa untuk dibawa ke negerinya. Berbagai perlawanan dilakukan melawan imperialisme ini oleh tokoh-tokoh pejuang nusantara kita seperti Pangeran Diponegoro (perang terbesar Belanda melawan kerajaan di Jawa), Iman Bonjol, Teuku Umar-Cut Nyat Dien, dan lainnya.
Masa Kebangkitan Nasional
Pada tahun 1908 didirikan Budi Oetome yang menjadi tonggak perjuangan membangun kekuatan bangsa untuk mendapatkan kemerdekaan. Pergerakan yang lebih terarah lagi terlaksana 20 tahun setelah Kebangkitan Bangsa, yakni Sumpah Pemuda, dimana istilah Tanah Air, Bangsa dan Bahasa Indonesia digunakan bersama. Tokoh-tokoh sentral politik di era itu adalah Soekarno, Mohammad Hatta, KH. Mas Mansur, HOS Cokro, Ki Hajar Dewantara, Syahrir dan masih banyak lagi. Pada masa Perang Dunia II, sewaktu Belanda dijajah oleh Jerman, Jepang menguasai Indonesia tahun 1942.
Kemerdekaan RI
Pada Maret 1945 Jepang membentuk sebuah komite untuk kemerdekaan Indonesia; setelah perang Pasifik berakhir pada tahun 1945, di bawah tekanan organisasi pemuda, kelompok pimpinan Soekarno memproklamasikan kemerdekaan Indonesia. Soekarno menjadi presiden pertama Indonesia dengan Mohammad Hatta sebagai wakil presiden. Dalam usaha untuk menguasai kembali Indonesia, Belanda mengirimkan pasukan mereka.
Kekuatan rakyat yang teguh untuk mengusir impereliasme (Belanda, Inggris, Amerika) untuk masuk kembali ke Indonesia berhasil dipukul mundur dengan darah bersimbah di bumi pertiwi. Agresi Militer I dan II, perlawanan 10 November 1945 di Surabaya, Bandung Lautan Api, dan masih banyak lagi. Belanda akhirnya menerima hak Indonesia untuk merdeka pada 27 Desember 1949.
Demi kemerdekaan bangsa-bangsa lain atas penindasan kolonialisme di negara-negara serta pengaruh neo-kolonialisme pada negara baru merdeka di Asia-Afrika, Bung Karno membentuk Konferensi Asia-Afrika (April 1955) dan gerakan non-blok bersama beberapa negara di Asia-Afrika.
Tahun 1965 meletus kejadian G30S yang menyebabkan kematian 6 orang jenderal AD. Muncullah kekuatan baru (Orde Baru) yang segera menuduh Partai Komunis Indonesia sebagai otak di belakang kejadian ini dan bermaksud menggulingkan pemerintahan yang sah (Bung Karno) serta mengganti ideologi nasionalis-pro-rakyat menjadi ideologi liberal pro-neokolonialisme barat. Tuduhan ini sekaligus dijadikan alasan untuk menggantikan pemerintahan lama di bawah Presiden Soekarno.
Jenderal Soeharto menjadi presiden pada tahun 1967, dan sejak Soeharto berkuasa, ratusan ribu warga Indonesia yang dicurigai terlibat pihak komunis dibunuh, sementara masih banyak lagi warga Indonesia yang sedang berada di luar negeri, tidak berani kembali ke tanah air, dan akhirnya dicabut kewarganegaraannya. 32 tahun masa kekuasaan Soeharto dinamakan Orde Baru, sementara masa pemerintahan Soekarno disebut Orde Lama
Soeharto menerapkan ekonomi neoliberal dan berhasil mendapat pinjaman dari IMF dan World Bank, dan perusahaan MNC yang menguras kekayaan alam kita demi kepentingan korporasi dan segelintir elit di pemerintahan Soeharto. Soeharto menambah kekayaannya dan keluarganya melalui praktik korupsi, kolusi dan nepotisme yang meluas dan dia akhirnya dipaksa turun dari jabatannya setelah aksi demonstrasi besar-besaran dan kondisi ekonomi negara yang memburuk pada tahun 1998. Utang yang ditinggalkan Orde Baru meledak mencapai US$ 150 milyar dolar selama 32 tahun, dibanding dengan US$ 2,5 milyar dolar selama 20 tahun pemerintahan Bung Karno.
Dari 1998 hingga 2001, Indonesia mempunyai tiga presiden: Bacharuddin Jusuf (BJ) Habibie, Abdurrahman Wahid dan Megawati Sukarnoputri. Pada tahun 2004 pemilu satu hari terbesar di dunia diadakan dan dimenangkan oleh Susilo Bambang Yudhoyono (63% suara)

ini kah yg dinginkan pemimpin  negara ini sekarang dengan menjual yang seharusnya milik rakyat AIR , BAHAN TANGBANG,  sudah dikuasai sekarang malah di monopoli oleh pemimpinnya,  apa jadinya negeri ini kedepan

Selasa, 12 Juni 2012

SRATEGI BANGSA UNTUK MAJU


Pertumbuhan ekonomi di Indonesia mengalami kenaikan yang signifikan. Bagaimana tidak, menurut survey terpercaya yang dilakukan oleh Bank Dunia, Indonesia diramalkan menjadi salah satu Negara Berkembang yang akan beralih ke Negara Maju dan memberikan dampak pada perekonomian global. Negara Indonesia diramalkan akan tergabung dalam BRIC (Brazil, Rusia, India, Cina).
Kini ekonomi global bergerak menuju multipolaritas. Orde ekonomi global baru mulai terbentuk dengan bergesernya pertumbuhan global dari negara-negara maju ke negara-negara berkembang. Peran perusahaan multinasional dari negara berkembang akan semakin penting sebagai sumber dan pendorong arus investasi global. Selain itu, sistem moneter internasional akan beranjak ke arah sistem multi-mata uang.
Pada aspek ekonomi multipolaritas, Indonesia pada tahun 2011 merupakan negara dengan tingkat pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi serta berpendapatan menengah dinamis. Hal tersebut dimotori oleh:
· Stabilitas politik, konsolidasi, dan pendalaman demokratis
· Pengelolaan ekonomi makro dan fiskal yang tetap kuat melalui krisis keuangan global
· Sumber daya alam dan kekuatan demografi
· Membaiknya profil internasional, contohnya: keanggotaan Indonesai pada G-20
Ramalan World Bank akan pertumbuhan ekonomi negeri ini berdasarkan beberapa bukti. Bukti – bukti tersebut di antaranya adalah :
clip_image002
clip_image004
clip_image006
Ramalan saja tidak cukup untuk merealisasikan Indonesia sebagai negara berkembang yang mempengaruhi perokonomian global dunia dan untuk melakukan percepatan pembangunan ekonomi di Indonesia. Banyak hal yang perlu dipersiapkan bangsa Indonesia untuk menjadikan ramalan Bank Dunia itu benar – benar terwujud. Beberapa di antaranya adalah usaha dan sifat optimisme dari seluruh lapisan masyarakat, khususnya pemerintah dan generasi muda, untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi dalam negeri.
Pemerintah, dalam hal ini adalah Kementrian Koordinator Perekonomian RI, telah mencanangkan masterplan akselerasi pembangunan perekonomian di Indonesia. Masterplan ini berisi Visi Indonesia 2025 yang di-breakdown­ menjadi prinsip dasar, strategi utama, dan inisiatif strategis MP3EI (Master Plan for the Acceleration and Expansion of Indonesia`s Economic Development).
clip_image008
Orde ekonomi global baru telah bergerak menuju terwujudnya multipolaritas, yang ditandai dengan munculnya kekuatan ekonomi baru (seperti China dan negara-negara Emerging Markets). Indonesia merupakan emerging market yang dalam beberapa tahun terakhir telah menjadi kekuatan ekonomi yang diperhitungkan dan memiliki prospek untuk tumbuh di masa mendatang. Indonesia bersama negara-negara emerging markets lainnya diperkirakan akan menjadi kekuatan ekonomi baru dunia dengan kontribusi yang signifikan. Akan tetapi, Indonesia memiliki sejumlah tantangan yang perlu diselesaikan untuk mengakselerasi tingkat pertumbuhan ekonominya. MP3EI 2011-2025 merupakan jawaban untuk mengatasi berbagai tantangan tersebut, karena didalamnya mengandung strategi-strategi yang business not as usual.

STRATEGI MENGEMBANGKAN SUATU NEGARA

Model Pengembangan Wilayah di Negara Maju dan Negara Berkembang
Melalui indikator dan contoh-contoh negara maju dan negara berkembang yang telah disajikan di depan, kamu bisa menarik kesimpulan bagaimana ciri-ciri negara maju dan negara berkembang. Ada beberapa ciri umum yang bisa ditemukan di negara maju dan negara berkembang. Tahukah kamu, bagaimana ciri atau gambaran-gambaran umum tersebut? Seperti yang telah diungkap di depan, di belahan Bumi ini terdapat 33 negara yang masuk kategori maju.

Sebanyak 26 negara berada kawasan Eropa (Prancis, Jerman, Belanda, Inggris, dan sebagainya) dan 6 di antaranya masuk bagian Eropa Timur dan Tengah (Bulgaria, Hongaria, Polandia, Slovenia, Republik Slovak, dan Czechnya). Dua negara, Estonia dan Ukraina merupakan negara yang baru merdeka dari bekas Uni Soviet. Apabila diperhatikan negara-negara ini memiliki sejarah demokrasi yang kukuh dan sistem ekonomi terbuka mempunyai kondisi ekonomi yang sangat baik dan stabil. Rata-rata pendapatan per kapita 18.700 US$ dengan inflasi yang relatif rendah (3,1%). Tingkat tabungan dan investasi tinggi, sedangkan utang luar negerinya sangat rendah.

Sebagian besar negara maju adalah negara kecil dengan penduduk kurang dari 25 juta dengan tingkat pertumbuhan penduduk 0,4% per tahun. Tingkat kematian bayi di negara ini sangat rendah, hanya 8 orang per 1.000 kelahiran hidup. Sedangkan usia harapan hidup 79 tahun dengan angka ketergantungan anak hanya 20%. Sebagian besar penduduknya (sekitar 98%) dapat membaca dan melanjutkan pendidikan tinggi. Nah, melalui ciri-ciri umum tersebut mungkin kamu bertanya-tanya, model dan strategi pembangunan yang bagaimanakah yang diterapkan hingga kemajuan-kemajuan tersebut dicapai? Ingin tahu, ikuti materi berikut.
1. Model dan Strategi Pengembangan di Negara Maju
2. Model dan Strategi Pengembangan di Negara Berkembang
 
Model dan Strategi Pengembangan di Negara Maju
Apabila kita cermati ciri-ciri negara maju pada umumnya menerapkan sistem ekonomi terbuka. Inilah salah satu strategi yang dikembangkan untuk mendongkrak perekonomian negara tersebut. Lalu, bagaimana strategi dan model pengembangan di sektor lain?

a. Sistem Ekonomi
Sejarah telah mencatat hancurnya ekonomi beberapa negara Eropa Timur mengakibatkan banyak negara lainnya di Eropa Timur beralih pada sistem ekonomi terbuka. Apakah keistimewaan dari sistem ekonomi ini hingga menyebabkan banyak negara beralih menganutnya? Dalam sistem ekonomi ini setiap individu atau kelompok bebas berusaha maupun memiliki barang dan alat-alat produksi. Setiap orang juga diberikan kebebasan memiliki barang dan jasa. Hal ini berarti negara ini terbuka dan berinteraksi serta menjalin kerja sama dengan negara lain berdasarkan prinsip laba.

Investasi modal asing pun bisa masuk ke negara ini. Oleh karena adanya keterbukaan ini mendorong terjadinya persaingan, yang dapat memberikan dorongan untuk meningkatkan mutu produk dalam negeri agar mampu bersaing. Hal ini tidak hanya berlaku bagi produk-produk yang dihasilkan, namun juga pada tenaga kerja. Tenaga kerja dituntut untuk selalu meningkatkan kualitas diri. Sistem ekonomi ini juga memberikan dampak buruk, apabila tidak disertai dengan pengaturan hukum yang baik dan pengawasan pemerintah.

Dampak buruk yang nyata adalah terjadinya penindasan dan monopoli. Namun, apabila kita perhatikan di negara maju, pelaksanaan sistem ekonomi ini berjalan cukup baik, karena berlakunya hukum dengan tertib. Di negara maju seperti Amerika Serikat, yang dikategorikan sebagai penganut sistem ekonomi terbuka, ternyata sistem ini tidak diterapkan seratus persen. Masih ada campur tangan pemerintah seperti perencanaan ekonomi oleh pemerintah untuk membuat jalan, jembatan, serta taman kota yang disediakan pemerintah. Bahkan, pemerintah memberikan pendidikan gratis sampai tingkat sekolah menengah. Hebat bukan?

b. Model Pengembangan Wilayah
Model pengembangan wilayah negara maju bermula pada tahun 1920, dengan tujuan mengawali pertumbuhan kawasan metropolitan dan sebagai satu rangkaian desentralisasi yang bertujuan mengatasi masalah kemunduran ekonomi sebagian kawasan. Tumbuhnya suatu kawasan menjadi kawasan metropolitan mengakibatkan majunya suatu kawasan, tetapi menyebabkan wilayah lain menjadi tertinggal. Oleh karena itu, sejak tahun 1950, objek dan juga strategi pembangunan di negara maju, terutama negara Kesatuan Ekonomi Eropa telah banyak berubah. Model pembangunan wilayah seolah-olah berkaitan erat dengan prestasi ekonomi suatu negara. Pembangunan dianggap baik ketika ekonomi berkembang pesat, tetapi akan diragukan peranannya ketika suasana pertumbuhan ekonomi lesu. Keraguan akan pengembangan kawasan metropolitan muncul setelah kawasan lain menjadi tertinggal.

Sejarah pembangunan wilayah dari setiap negara berbeda-beda tetapi sebagian besar memulainya setelah Perang Dunia II. Era pembinaan lebih ditekankan pada pemerataan pada tingkat wilayah. Di Inggris, keadaan sedikit berbeda. Pembangunan pelabuhan dan wilayah sudah diterapkan selepas Perang Dunia I. Kemunduran ekonomi pada tahun 1930 dan tingkat kemiskinan yang begitu tinggi di kota besar merupakan hambatan bagi pelaksanaan pengembangan wilayah. Pada zaman di antara Perang Dunia I dan Perang Dunia II, pelaksanaan pengembangan wilayah telah dimantapkan lagi. Setelah Perang Dunia II, terutama di kawasan yang dahulu terdapat pemusatan industri berat pemantapan menjadi kentara sekali. Masalah ini kemudian ditangani dengan program pemindahan penduduk ke kawasan yang lebih menawarkan peluang kerja. Cara ini tidak memberi hasil yang memuaskan. Sejak saat itu untuk mengurangi kadar pengangguran dan untuk pemerataan, mulai diterapkan peningkatan ekonomi di wilayah-wilayah terpencil. Nah, model pengembangan seperti ini, sekarang mulai diterapkan di negara berkembang.

Di negara Eropa yang lain, pengembangan suatu wilayah juga bertujuan untuk menyelamatkan kawasan tertentu, seperti kawasan kecil yang tertinggal tidak hanya secara ekonomi tetapi juga sosial. Penggemblengan usaha di kawasan-kawasan baru tersebut ditingkatkan agar dapat memberikan manfaat yang paling optimal dengan penggunaan sumber daya yang minimum.

Penerapan pengembangan wilayah seperti ini, telah lebih dahulu diterapkan di negara-negara maju. Cara-cara ini, baru ditiru di negara-negara berkembang. Nah, model pengembangan seperti ini mengacu pada teori kutub pertumbuhan yang dikemukakan oleh Perroux. Pada perkembangannya, cara yang ditempuh ini mengalami kendala, yaitu masalah pengangguran pada wilayah-wilayah tertentu dan kurang adanya pemerataan. Dengan latar belakang yang demikian, negara-negara maju mencari strategi baru untuk memecahkan masalah ini. Akhirnya, negara-negara maju mulai membentuk lembaga untuk mengkaji dan menilai semua perencanaan wilayah yang mengarah pada tujuan yang akan dicapai di masa datang. Lembaga tersebut kemudian menemukan masalah yang mendasari kondisi ini, yaitu dinamika perubahan ruang ekonomi dan ketidaksamaan dalam taraf kesejahteraan. Kedua hal ini terutama terjadi di wilayah pinggiran. Oleh karena itu, kemudian diterapkan pembangunan pribumi yang didasarkan pada potensi yang dimiliki oleh wilayah-wilayah setempat. Ini berarti, potensi-potensi yang ada menjadi dasar prioritas pengembangan. Strategi kewilayahan inilah yang kemudian banyak dikembangkan oleh negara-negara maju.

Model dan Strategi Pengembangan Wilayah di Negara Berkembang
Menurut Estes (1998), berdasarkan pembangunan sosial, negaranegara berkembang dibedakan menjadi dua, yaitu negara berkembang menengah (Middle Perfoming Countries) dan negara berkembang terbelakang (Socially Least Developing Countries). Negara-negara yang masuk kategori negara berkembang menengahmenyebar di seluruh wilayah geografis: Asia (36 negara), Amerika Latin (22), Afrika (10), dan Oceania (1). Sebagian besar negara-negara ini telah memiliki apa yang disebut ”social ingredients” yang diperlukan untuk mencapai kondisi sosial dan ekonomi maju, seperti stabilitas politik, dinamika ekonomi, akses ke sumber daya alam (khususnya energi), kualitas kesehatan, pendidikan, dan sistem jaminan sosial.

GNP per kapita di negara berkembang menengah juga relatif tinggi, sekitar US$ 4,910 dengan pertumbuhan 2,3% per tahun dan laju inflasi 7% per tahun. Tingkat pengangguran relatif rendah, sekitar 13,1% dari jumlah angkatan kerja. Namun demikian, beberapa negara masih memiliki kondisi sosial ekonomi yang rentan, seperti pemerintahan korup, jumlah dan pertumbuhan penduduk tinggi, tingginya pengangguran serta meluasnya kemiskinan.

Negara yang termasuk kategori negara berkembang terbelakang berjumlah 38. Sebagian besar berada di Afrika (29 negara), 7 negara di Asia, 1 negara di Amerika, dan 1 negara di Pasifik Selatan. Terbelakangnya pembangunan sosial di negara ini terlihat dari rendahnya kualitas hidup, seperti rendahnya usia harapan hidup (51 tahun), tingginya kematian bayi (110/1.000) dan anak (177/1.000). Tingginya kematian bayi dan anak merupakan yang tertinggi di dunia yang diakibatkan oleh infeksi dan penyakit menular. Nah, dalam materi ini kedua negara berkembang tersebut akan kita samakan karena mempunyai ciri-ciri umum yang hampir sama.

a. Bidang Ekonomi
Sistem perekonomian di negara-negara berkembang masih beragam. Negara-negara ASEAN yang kebanyakan anggotanya adalah negara berkembang saat ini juga menjalankan perekonomiannya berdasarkan sistem ekonomi terbuka. Bahkan, negara yang dahulu menganut ekonomi tertutup seperti Vietnam, Laos, Kampuchea, dan Myanmar telah menjalankan ekonominya dengan sistem terbuka. Mengapa kondisi ekonomi negara-negara ini tidak seperti negara-negara maju? Banyak hal yang bisa menjawabnya, tetapi hal yang paling membedakan dalam pelaksanaan sistem ekonomi terbuka di negara maju dan negara berkembang adalah telah adanya dukungan dari suatu sistem hukum. Di antaranya adalah munculnya hukum persaingan usaha dan lembaga antimonopoli sebagai pengawas pelaksana hukum persaingan tersebut di tingkat regional. Sistem ini mendukung persaingan yang sehat dan kondusif.

Negara-negara Uni Eropa dan Amerika Serikat telah mempunyai hukum persaingan usaha dan antimonopoli. Di negara-negara ASEAN, baru Indonesia dan Thailand yang mempunyai hukum persaingan usaha. Kendala pelaksanaan sistem ekonomi terbuka di negara berkembang adalah lemahnya penegakan hukum. Meskipun telahada berbagai hukum yang mengatur hal-hal tentang perekonomian, namun pelanggaran-pelanggaran masih sering terjadi. Jenis pelanggaran ini sering dilakukan tidak hanya oleh masyarakat umum tetapi juga pemerintah.

b. Pengembangan Wilayah
Suasana ekonomi dunia saat ini berbeda dengan beberapa dekade yang lalu. Pada tahun 1950 yang merupakan masa prapembangunan dan pembinaan awal selepas Perang Dunia II, kebanyakan negara mengalami pertumbuhan yang pesat. Iklim ekonomi yang begitu baik telah membuka perdagangan antarnegara. Sejak itulah pengembangan wilayah di negara berkembang dimulai. Implikasi perubahan ekonomi global terhadap negara-negara berkembang dapat dilihat dari tiga aspek yaitu: ketergantungan negara kepada pasaran dunia dari segi komoditas utama, permintaan negara-negara industri terhadap barang dan modal.

Pada tahun 1960-an, negara-negara berkembang memulai perkembangannya dengan mengacu pada model pertumbuhan bertumpu pada hasil ekspor. Sehingga wilayah-wilayah dengan kemampuan ekspor menjadi wilayah yang maju. Pengembangan yang demikian menemui kendala ketika ekspor bahan-bahan mentah andalan mengalami penurunan harga. Akibatnya, negara-negara berkembang yang perekonomiannya sangat bergantung pada ekspor bahan mentah ini mengalami kemunduran. Banyak negara berkembang kemudian mengubah strategi pembangunan dengan mulai mengembangkan aktivitas produksi barang-barang sekunder dan tersier. Jika tidak mereka akan sangat terpukul bahkan bisa hancur dengan merosotnya harga-harga komoditas meskipun dengan strategi diversifikasi ekspor sekalipun. Sejak saat itu, sektor industri di negara berkembang mulai menggeliat.

Perkembangan industri ini lebih bisa menarik wilayah lain untuk turut berkembang daripada bertempur dengan strategi ekspor bahan mentah. Dalam kegiatan industri lebih banyak wilayah lain yang ikut terlibat, misalnya wilayah sumber bahan mentah, wilayah pasar, serta lokasi industri itu sendiri. Nah, model-model pengembangan yang demikian, kini mulai diterapkan di berbagai negara berkembang. Ya, banyak model pengembangan di negara maju, diadopsi oleh negara berkembang, tetapi yang harus mereka sadari adalah setiap wilayah mempunyai kondisi yang berbeda. Jadi, meskipun berkiblat dengan model pengembangan dunia Barat, jangan lupa memerhatikan

 

NASIONALISME DAN INTEGRITAS BANGSA DI ERA GLOBALISASI

Pendahuluan

Era globalisasi telah menimbulkan banyak perubahan dalam segala bidang kehidupan manusia, antara lain terciptanya kehidupan dengan arus informasi yang super cepat (information superhighway) dan terbentuknya suatu dunia tanpa batas (borderless world) dimana batas-batas politik, ekonomi dan budaya antar bangsa menjadi samar. Perubahan tersebut telah menimbulkan dampak dimana seluruh ketergantungan dan hubungan antar bangsa menjadi transparan, yang pada akhirnya telah menciptakan implikasi yang luas terhadap seluruh aspek kehidupan berbangsa dan bernegara.

Menurut Jenderal TNI (Purn.) Soemitro, globalisasi adalah konsep semu pengisi kevakuman konsepsi, strategi dan kepemimpinan politik dunia, terutama setelah berakhirnya perang dingin dan runtuhnya hegemoni Blok Timur (Krisnamurti, 2004). Sebagai negara adidaya yang tersisa, Amerika Serikat (AS) telah mengubah strategi konfrontasi menjadi strategi rekonsiliasi dan mengkampanyekan konsep globalisasi dengan tiga sasaran utama yaitu perwujudan hak asasi manusia (HAM), kemerdekaan dan ekonomi liberal. Melihat ketiga sasaran utama tersebut, semestinya globalisasi mampu membawa dampak yang positif bagi umat manusia. Namun kenyataan yang terjadi adalah sebaliknya, dimana negara-negara yang perekonomiannya tergolong lemah justru semakin tersudutkan baik dalam bidang sosial, politik maupun ekonomi karena tidak sanggup menghadapi pengaruh globalisasi tersebut.

Terkait hal ini, John Perkins dalam bukunya “Confessions of an Economic Hit Man”, mengungkapkan bahwa di dunia ini kita tidak akan bisa menolak bahwa selalu saja ada kekuatan-kekuatan pengintai yang membuat dunia ketiga selalu bergantung secara ekonomi (Bachtiar Effendi, 2005). Negara-negara asing yang perekonomiannya jauh lebih kuat akan selalu berusaha masuk dan terlibat dalam perekonomian negara-negara dunia ketiga dan berperan sebagai agen perusak ekonomi dengan melakukan konspirasi yang melibatkan lembaga-lembaga internasional, yang pada umumnya berkedok sebagai konsultan pemerintah, dan pada akhirnya akan membuat perekonomian negara-negara dunia ketiga tersebut menjadi tergantung dan dikuasai oleh negara asing (Dadang Iskandar, 2007).

Hal yang sama juga telah diprediksikan oleh seorang  sosiolog terkemuka, Francis Fukuyama, dalam bukunya yang berjudul ''The End of History and The Last Man''. Fukuyama memprediksikan bahwa dunia ke depan di abad ke-21 merupakan dunia yang hanya diwarnai oleh neoliberalisme sebagai pandangan hidup, gaya dan agenda terpenting umat manusia. Setelah runtuhnya komunisme Uni Soviet dan Eropa Timur, sejarah sudah berhenti berputar karena telah mencapai terminasinya yaitu dunia yang neoliberal dan global. Pertarungan antara ideologi sosialisme-komunisme melawan neoliberalisme akhirnya dimenangkan oleh neoliberalisme. Dunia neoliberalisme menurut imajinasi Fukuyama ialah kehidupan masyarakat yang mengedepankan kebebasan individu, perdagangan bebas (free trade), budaya kosmopolitan, demokrasi, HAM dan good governance (I Gede Wahyu Wicaksana, 2005).

Gambaran diatas kiranya dapat menunjukkan kepada kita bahwa bangsa Indonesia, sebagai salah satu bagian dari masyarakat global, juga tidak akan dapat terlepas dari pengaruh globalisasi karena, mau tidak mau, bangsa Indonesia pasti akan mengadakan hubungan dengan negara-negara lainnya di dunia. Bahkan pada saat ini arus globalisasi tersebut sudah semakin deras memasuki wilayah Indonesia. Pertanyaan yang relevan diajukan disini adalah bagaimana kesiapan bangsa Indonesia menghadapi era globalisasi tersebut dan dampaknya bagi bangsa Indonesia, terutama terhadap rasa nasionalisme kita sebagai sebuah bangsa yang berdaulat di tengah berbagai kepentingan bangsa-bangsa lain yang semakin mengglobal. Hal ini dimaksudkan agar dapat menjadi sebuah refleksi kritis bagi segenap komponen bangsa dalam rangka mengantisipasi dan atau menanggulangi segala dampak dan permasalahan yang dibawa atau disebabkan oleh globalisasi tersebut, terutama kaitannya dengan kondisi bangsa Indonesia pada saat ini yang keadaannya sudah sangat memprihatinkan.

II.    Globalisasi dan Tantangannya Bagi Bangsa Indonesia

Arus globalisasi telah menyebabkan negara-negara di dunia menyatu dalam sebuah global village sehingga terjadi suatu homogenisasi budaya yang mengabaikan identitas parsial bangsa-bangsa (Media Indonesia Online, 2007). Globalisasi juga telah menyebabkan masyarakat dunia masuk ke dalam kehidupan dengan arus informasi dan perubahan yang super cepat. Akhirnya untuk dapat beradaptasi dengan perubahan yang super cepat tersebut, tiap bangsa dituntut memiliki sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas. Globalisasi akan berdampak negatif pada suatu bangsa apabila tidak memiliki SDM yang berkualitas. Disinilah letak kelemahan bangsa Indonesia dalam menghadapi globalisasi. Kita harus mengakui bahwa SDM bangsa Indonesia masih sangat rendah dibandingkan negara-negara lainnya.

Memang tidak dapat dipungkiri bahwa globalisasi telah menghasilkan banyak perubahan positif dalam berbagai bidang kehidupan bangsa Indonesia, yang tentunya akan bermanfaat bagi masyarakat Indonesia, yaitu antara lain kemajuan dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek), pertumbuhan ekonomi, peningkatan kecanggihan sarana komunikasi dan sebagainya. Akan tetapi kita juga harus berani melihat dari sudut pandang lain dan mengakui secara jujur bahwa globalisasi juga telah menimbulkan berbagai dampak negatif yang pada akhirnya akan merugikan bangsa Indonesia sendiri. Dampak negatif tersebut secara umum dapat dikelompokkan dalam 3 (tiga) bidang (Krisnamurti, 2004), yaitu sebagai berikut:
1.    Dalam bidang sosial

Globalisasi telah membawa manusia hidup dalam dunia dengan arus informasi yang semakin mengglobal dan melahirkan masyarakat yang lebih menghargai kualitas individu. Dari situ akan terformat masyarakat kompetitif, sehingga persaingan antar individu akan memuncak. Namun tumbuhnya sikap individualisme tersebut telah mengakibatkan kemampuan berinteraksi dalam kehidupan bermasyarakat pada sebagian besar masyarakat Indonesia semakin jauh menurun. Bukti nyata dari keadaan ini adalah bentuk-bentuk kegiatan gotong royong, terutama pada generasi muda, yang sudah sangat jauh menurun bila dibandingkan dengan masa-masa sebelumnya. Semangat kebersamaan yang dahulu sangat terjalin erat dalam lingkungan sosial masyarakat Indonesia seolah sudah tidak relevan lagi pada saat ini.

2.    Dalam bidang ekonomi

Globalisasi dengan arus informasi yang semakin mengglobal telah membawa “angin segar” bagi konsumerisme untuk tumbuh subur pada masyarakat Indonesia, khususnya generasi muda. Tingkat konsumsi menjadi meningkat dan kemampuan produksi (produktifitas) semakin menurun. Di lain pihak, pasar bebas yang menjadi salah satu perwujudan globalisasi akan menuntut manusia yang kreatif, mampu berkreasi atau singkatnya disebut manusia produktif. Disinilah terjadi tension, dimana masyarakat Indonesia menjadi semakin tidak mampu memenuhi tuntutan zaman karena sudah “teracuni” konsumerisme sehingga hanya ahli dalam mengkonsumsi. Bukti nyata dari keadaan ini adalah perbandingan persentasi penemu dan peneliti di Indonesia yang sangat kecil dibandingkan dengan jumlah penduduk Indonesia. Produktifitas yang semakin menurun tersebut merupakan sebuah ancaman bagi negara kita dan apabila tidak segera diatasi akan mengakibatkan negara kesatuan ini semakin terpuruk dalam “lingkaran setan” yang tidak ada habisnya. 

3.    Dalam bidang budaya

Bidang atau segi budaya adalah segi yang paling rentan terkena dampak negatif globalisasi. Dampak negatif tersebut lebih jauh akan mempengaruhi pola berpikir dan bertindak bangsa Indonesia secara keseluruhan. Sebelumnya telah dijelaskan bahwa dampak negatif globalisasi dalam bidang ekonomi adalah meningkatnya sikap konsumerisme. Kaitannya dengan bidang budaya adalah bahwa sikap konsumerisme tersebut pada akhirnya akan mencapai titik jenuh dalam bentuk quasi religion. Hal-hal duniawi yang semu dan tidak kekal akan dicari dan dinomorsatukan, sementara hal-hal yang merupakan agama murni justru akan ditinggalkan. Keadaan ini hanya akan menciptakan manusia-manusia yang rakus dan “mendewakan” segala bentuk materi, atau sering diungkapkan dengan terminologi hedonisme. Akibatnya timbul transformasi budaya yang bercorak revolutif. Pada titik ini, masyarakat akan mengalami alienasi budaya. Alienasi budaya yang dimaksudkan disini adalah untuk mengungkapkan suatu bentuk perasaan terpisah atau terpecah dalam arti yang lebih dalam, yang mengakibatkan masyarakat Indonesia mengalami keterasingan dengan budayanya sendiri sehingga terjadi krisis identitas yang intensif karena pergeseran budaya yang amat cepat dan tidak disadari.

Ironisnya, yang paling rentan terkena dampak negatif globalisasi tersebut adalah generasi muda, yang merupakan tulang punggung pembangunan bangsa di masa depan. Oleh karena itu, demi mewujudkan masa depan yang lebih baik bagi bangsa Indonesia, harus segera diupayakan langkah-langkah strategis untuk menangkal dan menanggulangi dampak negatif globalisasi tersebut. Dapat dibayangkan bagaimana keadaan bangsa ini di masa mendatang apabila generasi muda pada saat ini telah “rusak karena diracuni” globalisasi. Kualitas bangsa Indonesia di masa mendatang akan ditentukan oleh seberapa baik kualitas generasi muda pada saat ini. Apabila generasi muda bangsa Indonesia pada saat sekarang tidak mempunyai kualitas yang baik dan bisa diandalkan, dapat dipastikan di masa mendatang bangsa Indonesia juga tidak akan mempunyai kualitas yang baik dan bisa dibanggakan.

Dalam tulisan ini akan dibuat pembatasan pembahasan permasalahan terkait dampak negatif globalisasi, terutama dalam bidang budaya, dalam kaitannya dengan menurunnya rasa nasionalisme kita sebagai sebuah bangsa dan upaya atau langkah-langkah strategis yang perlu segera dilakukan untuk mengatasi keadaan tersebut, yang tujuannya adalah demi kokohnya integritas bangsa dan terwujudnya bangsa Indonesia yang lebih baik dan berdaulat diantara bangsa-bangsa lainnya di dunia.

III.    Memudarnya Semangat Nasionalisme dan Ancaman Disintegrasi Bangsa

Telah dijelaskan bahwa globalisasi akan berdampak negatif pada suatu bangsa apabila tidak memiliki SDM yang berkualitas, karena bangsa tersebut tidak akan mampu beradaptasi dengan perubahan yang super cepat sebagai konsekuensi globalisasi. Perlu dipertegas bahwa SDM yang dimaksudkan disini tidak hanya terbatas pada kemampuan intelektual (kognitif) saja, tapi lebih dimaksudkan pada pola pikir dan sikap serta spirit (jiwa) setiap komponen bangsa terkait kesadaran bahwa dalam kehidupan berbangsa, yang mempunyai kepentingan dan tujuan yang sama, segala pemikiran dan tindakan yang dilakukan seharusnya mampu memberikan manfaat yang konstruktif bagi bangsa itu sendiri dan bukan justru sebaliknya.

Namun dengan kondisi SDM yang masih rendah, masyarakat Indonesia seolah “latah” sehingga tidak mampu mengambil sikap serta posisi yang jelas di era globalisasi tersebut. Bangsa Indonesia justru terlena dibawa arus globalisasi sehingga mengakibatkan kesadaran sebagai sebuah bangsa yang berdaulat menjadi semakin terkikis. Konsekuensi dari keadaan ini adalah semakin memudarnya rasa senasib sebagai satu bangsa dan satu tanah air pada masyarakat Indonesia.
Sepertinya ada sesuatu yang salah dengan pola pikir bangsa kita dalam menghadapi era globalisasi. Idealnya ketika arus globalisasi semakin deras bergulir, yang harus dijadikan penangkal terhadap dampak negatif globalisasi tersebut adalah dengan meningkatkan semangat nasionalisme pada diri setiap warga bangsa. Namun kenyataan yang terjadi adalah sebaliknya dimana rasa nasionalime kita justru semakin memudar. Mungkin kita harus lebih banyak belajar pada negara-negara lain yang telah menunjukkan kemampuannya dalam mengantisipasi dan bersaing di tengah arus globalisasi. Sebut saja sebagai contoh yaitu negara Jerman atau Jepang yang telah memaknai nasionalisme secara benar dan utuh dan selanjutnya diaplikasikan dalam pembangunan, terutama pembangunan ekonomi dan perdamaian (LP3ES, 2003).

Apabila kondisi bangsa ini tidak segera diperbaiki, maka seluruh permasalahan sebagaimana telah disebutkan diatas akan berakumulasi dan menimbulkan dampak negatif yaitu semakin memudarnya rasa dan semangat nasionalisme pada masyarakat Indonesia, yang secara langsung maupun tidak langsung akan berpengaruh terhadap keutuhan (integritas) negara kesatuan Republik Indonesia. Kondisi inilah yang menjadi permasalahan utama bangsa Indonesia pada saat ini, sehingga perlu segera diupayakan langkah-langkah strategis untuk mengatasinya.

IV.    Langkah-Langkah Strategis dalam Upaya Menumbuhkan Kembali Semangat Nasionalisme pada Bangsa Indonesia

Memudarnya semangat nasionalisme pada masyarakat Indonesia di tengah derasnya arus globalisasi akan menimbulkan dampak yang sangat besar dan tidak mustahil dapat mengancam eksistensi bangsa Indonesia sendiri. Untuk mencegah hal tersebut, maka harus segera diupayakan langkah-langkah strategis untuk mengatasinya, antara lain sebagai berikut:

A.    Menggagas Kembali Makna Nasionalisme

Nasionalisme sebagai konsep pemersatu bangsa sebenarnya bukan hal yang baru bagi bangsa Indonesia. Jauh sebelum bangsa Indonesia merdeka, nasionalisme sudah menjadi pembicaraan penting pada sebagian kalangan masyarakat Indonesia. Terbentuknya organisasi “Boedi Oetomo” pada tahun 1908, yang merupakan tonggak awal lahirnya gerakan kebangkitan nasional, atau diikrarkannya “Sumpah Pemuda” oleh segenap putera-puteri bangsa Indonesia pada tanggal 28 Oktober 1928, adalah beberapa bukti konkrit. Rasa nasionalisme dan cinta tanah air (patriotisme) yang tertanam dalam diri bangsa Indonesia pada saat itu telah terbukti sangat efektif dalam mempersatukan segenap komponen bangsa untuk berjuang meraih tujuan bersama, yaitu terwujudnya negara Indonesia yang merdeka dan lepas dari penjajahan bangsa asing. Perjuangan tersebut telah berhasil mencapai puncaknya pada saat bangsa Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya, yaitu pada tanggal 17 Agustus 1945.

Namun saat ini rasa nasionalisme bangsa Indonesia tersebut sudah semakin jauh menurun bila dibandingkan dengan masa perjuangan kemerdekaan dahulu. Hal ini dapat kita lihat dari tingginya tingkat konflik, baik konflik horizontal maupun vertikal, yang terjadi di tengah kehidupan masyarakat. Keadaan tersebut telah menimbulkan kesan bahwa tidak ada lagi semangat kebersamaan pada bangsa Indonesia. Kepentingan kelompok, bahkan kepentingan pribadi, telah menjadi tujuan utama. Akibatnya semangat membela negara pada diri warga masyarakat telah ikut memudar.

Apabila dicermati, penyebab keadaan ini sebenarnya adalah karena egoisme dan fanatisme kelompok dalam masyarakat. Perbedaan pendapat yang merupakan essensi demokrasi akhirnya telah menjadi potensi konflik karena salah satu pihak berkeras dalam mempertahankan pendiriannya sementara pihak yang lain berkeras memaksakan kehendaknya. Dalam keadaan ini, sebenarnya cara terbaik untuk mengatasi perbedaan pendapat  adalah musyawarah untuk mufakat. Namun cara yang merupakan ciri khas budaya bangsa Indonesia ini tampaknya tidak sesuai lagi di era globalisasi. Parahnya, cara pengambilan suara terbanyak pun seringkali menimbulkan rasa tidak puas bagi pihak yang "kalah" sehingga mereka akhirnya memilih cara pengerahan massa atau melakukan tindak kekerasan untuk memaksakan kehendaknya.

Kondisi ini perlu mendapat perhatian serius dari segenap komponen bangsa, mengingat instabilitas internal dalam masyarakat kita seringkali mengundang campur tangan pihak asing, baik secara langsung maupun tidak langsung, yang dimanfaatkan untuk kepentingan mereka. Kita harus segera bangkit dari keterpurukan bangsa ini, dan sudah saatnya energi konflik dalam tubuh masyarakat ditransformasikan menjadi energi solidaritas. Kini bangsa Indonesia mendambakan hadirnya para negarawan yang dapat bertindak sebagai pencipta solidaritas (solidarity maker) yang dengan kearifan dan kebijaksanaan mampu menghimpun kebersamaan dan kekuatan bangsa. Saatnya kearifan dan kebijaksanaan membimbing bangsa ini.

Kembali ke permasalahan utama yaitu memudarnya rasa nasionalisme bangsa Indonesia di era globalisasi dan dampaknya terhadap integritas bangsa. Salah satu faktor penyebab keadaan ini adalah karena pemahaman masyarakat yang masih bias dan tidak utuh akan makna nasionalisme, disamping faktor-faktor lainnya, baik faktor politis, ekonomis maupun psikologis seperti masalah:
1.    Pembangunan ekonomi yang tidak merata;
2.    Kebijakan dalam bidang pendidikan yang tidak terarah;
3.    Kurangnya penghayatan masyarakat atas arti sejarah perjuangan bangsa;
4.    Persaingan yang tidak sehat antar kelompok-kelompok politik, dsb.

Fenomena yang terjadi sekarang ini adalah bahwa pemahaman masyarakat atas makna nasionalisme sudah cenderung dikotomis. Di satu sisi, nasionalisme dimaknai dengan sangat luas (trans-nasionalisme) yang menganggap bangsa Indonesia hanya merupakan bagian dari masyarakat global sehingga harus mengikuti kaedah-kaedah global tersebut. Pemahaman seperti ini tidak lagi mengakui adanya konsep negara bangsa (nation-state), melainkan berpandangan bahwa seluruh masyarakat dunia adalah satu komunitas bersama. Di sisi lain, timbul pemahaman atas makna nasionalisme yang sangat sempit, yang memaknai nasionalisme sebagai ikatan-ikatan primordial (etno-nasionalisme) sebagai unsur pembentuk identitas kebangsaan. 

Apabila dicermati secara jernih, kedua pemahaman ini sebenarnya bersifat sejalan dan saling melengkapi (komplementer) sehingga tidak perlu dipisah-pisahkan apalagi dipertentangkan. Oleh sebab itu, di era globalisasi ini kita perlu melakukan redefinisi atas makna nasionalisme. Redefinisi tersebut harus bersifat holistik dan komprehensif, karena kita tidak akan mungkin dapat memilih hanya salah satu dari kedua pemahaman tersebut dimana konsekuensinya bisa sangat merugikan bagi bangsa Indonesia sendiri. Apabila kita hanyut dalam pemahaman yang pertama (trans-nasionalisme), akan mengakibatkan lunturnya rasa nasionalisme dan patriotisme. Sebaliknya jika larut dalam pemahaman yang kedua (etno-nasionalisme), akan menyebabkan tumbuhnya rasa nasionalisme yang picik (ICMI, 2004).

Bertolak dari pemikiran ini, maka kini dapat dimunculkan sebuah paradigma baru atas makna nasionalisme yang kiranya relevan dengan era globalisasi sekarang ini. Di era globalisasi, semangat nasionalisme harus dapat diartikan sebagai kemampuan segenap komponen bangsa Indonesia untuk bersikap kritis terhadap globalisasi. Sikap kritis tersebut tidak berarti menolak globalisasi secara keseluruhan tetapi harus diiringi dengan berbagai agenda untuk membangun keunggulan kompetitif bangsa (LP3ES, 2003). Sikap latah yang menerima globalisasi secara salah dan “berkiblat” kepada pihak asing harus ditinggalkan. Kata kunci untuk dapat mengaplikasikan nasionalisme seperti ini adalah profesionalisme.

Dengan demikian, nasionalisme harus dilengkapi dengan sikap profesionalisme agar mampu memicu spirit kebangsaan dan menjadi kompas atau cermin yang merefleksikan arah dan dinamika bangsa dalam rangka menempatkan posisi serta meraih setiap peluang yang dimunculkan globalisasi guna terciptanya kehidupan masyarakat yang makmur dan sejahtera. Yang tidak kalah pentingnya diingat bahwa wujud nasionalisme tersebut tidak hanya sebatas perkataan atau simbol-simbol yang bersifat formal, tetapi harus dibuktikan dalam perilaku nyata (konkrit).



B.    Pembangunan yang Merata dan Berkeadilan

Agenda utama bangsa Indonesia pasca kolonialisme adalah mengisi kemerdekaan yang telah berhasil diraih tersebut dengan pembangunan guna mewujudkan masyarakat yang makmur dan sejahtera. Kemerdekaan bukanlah tujuan utama bagi bangsa Indonesia, melainkan hanya sebagai “jembatan emas” untuk menciptakan keadaan yang lebih baik, yaitu masyarakat yang hidup sejahtera, baik materil maupun spiritual. Hakekat kemerdekaan adalah menciptakan kesejahteraan dan kemakmuran yang merata bagi segenap komponen bangsa.

Oleh sebab itu, dalam rangka mengisi kemerdekaan tersebut rasa nasionalisme dalam diri setiap warga bangsa harus senantiasa eksis sehingga mampu memberikan warna dalam setiap tahapan pembangunan yang dilaksanakan oleh bangsa Indonesia. Semangat nasionalisme tersebut harus tetap diaktualisasikan guna menopang setiap tahapan pembangunan yang dilaksanakan bersama, yang diwujudkan dengan cara ikut serta berpartisipasi dalam mengisi pembangunan sesuai dengan peran masing-masing dalam masyarakat. Dengan demikian rasa nasionalisme akan mampu memberikan sumbangsihnya dalam pembangunan bangsa dan peningkatan kualitas kehidupan masyarakat seutuhnya.

Namun setelah hampir 63 tahun merdeka dan melaksanakan pembangunan, harus diakui bahwa tujuan, bahkan harapan, untuk terciptanya masyarakat Indonesia yang hidup sejahtera belum sepenuhnya tercapai. Faktor penyebab keadaan ini adalah karena pembangunan yang dilaksanakan, baik kebijakan maupun strateginya, tidak tepat arah dan tidak sesuai dengan tujuan pembangunan itu sendiri, sehingga tidak mampu memberikan hasil yang merata dan hanya menguntungkan segelintir orang saja. Pembangunan yang tidak merata tersebut pada akhirnya telah menciptakan kesenjangan sosial ekonomi yang sangat tinggi di dalam masyarakat. Akibatnya, masyarakat yang tidak dapat menikmati hasil pembangunan tersebut akan merasa tidak diperhatikan oleh negara, bahkan sangat mungkin mereka tidak lagi merasa menjadi bagian dari negara Indonesia. Ironisnya, keadaan ini justru semakin diperparah oleh perilaku kalangan elite politik dan elite kekuasaan yang terlibat dalam praktik-praktik negatif kekuasaan seperti praktik korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN), buruknya kinerja para birokrat, elite politik maupun aparat hukum, yang berakibat semakin menguatnya gejala ketidakpatuhan sosial dalam masyarakat.

Untuk dapat keluar dari permasalahan ini, maka harus segera dilakukan reorientasi dalam kebijakan pembangunan, yang diikuti dengan perubahan sikap mental setiap aktor pelaksana pembangunan itu sendiri. Langkah tersebut perlu dilakukan karena kemiskinan (dan keterbelakangan) sebagai dampak dari pembangunan yang tidak merata tersebut, terkadang lebih menyakitkan daripada penjajahan. Oleh sebab itu harus diusahakan agar pembangunan yang kita laksanakan mampu memberikan hasil dan manfaat yang merata bagi seluruh warga masyarakat, dan penerapannya harus bertumpu pada penghargaan terhadap manusia dan kemanusiaan. Pembangunan yang kita laksanakan tersebut jangan sampai mengorbankan masyarakat Indonesia sendiri. 

Selain itu, bangsa Indonesia juga harus cerdik dalam mengelola setiap peluang yang timbul dari globalisasi. Kita harus sadar bahwa era globalisasi telah mengantarkan dunia ke arah persaingan antar bangsa dan negara dimana dimensi utamanya terletak pada bidang ekonomi, budaya dan peradaban. Konsekuensinya, tinggi rendahnya harkat, derajat dan martabat suatu bangsa akan diukur dari tingkat kesejahteraan, budaya dan peradaban bangsa tersebut (Dadang Iskandar, 2007). Dalam keadaan ini semangat nasionalisme diharapkan mampu mengawal dinamika dan pembangunan dalam segala bidang kehidupan yang dilaksanakan oleh bangsa Indonesia sendiri.

C.    Pendidikan yang Mencerdaskan Bangsa

Kualitas SDM bangsa Indonesia yang masih sangat rendah sebenarnya tidak dapat dilepaskan dari realita bahwa kebijakan pendidikan yang kita laksanakan selama ini telah jatuh ke dalam corak pendidikan yang pragmatis dan tidak sesuai lagi dengan tujuan pendidikan itu sendiri. Apabila kondisi ini tidak segera diperbaiki maka bangsa Indonesia akan tetap menjadi bangsa yang terbelakang di era globalisasi ini, sehingga tidak akan pernah mampu bersaing dengan bangsa-bangsa lainnya. Oleh karena itu sekarang ini sangat diperlukan langkah-langkah strategis dan upaya-upaya konkrit untuk dapat meningkatkan kualitas SDM bangsa Indonesia tersebut.

Salah satu langkah strategis tersebut adalah melalui pengembangan suatu paradigma pendidikan yang dapat menimbulkan “suasana berbagi” (the spirit of sharing) di sekolah antara guru dan murid (Mochtar Buchori, 2006). Dengan sikap seperti ini, kegiatan mengajar akan menjadi kegiatan berbagi pengetahuan dan ketidaktahuan (sharing of knowladge and ignorance) dan bukan semata-mata sebagai kegiatan mentransfer ilmu. Pendidikan harus dapat dijadikan sebagai sebuah upaya membangun identitas bangsa dan sebagai filter dalam menyeleksi pengaruh budaya asing yang tidak sesuai dengan budaya bangsa Indonesia sendiri. Dalam kondisi ini pendidikan akan berfungsi mencerdaskan anak bangsa sehingga mampu menghasilkan manusia-manusia yang berdaya guna dalam kehidupan manusia, yang pandai dan mampu mengelola segala potensi yang dimiliki bangsa ini untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Hanya dengan pendidikan masyarakat dapat tercerahkan dan terbebaskan dari keterbelakangan (kebodohan). Kebangkitan kita sebagai sebuah bangsa bukan dilaksanakan melalui politik kekerasan atau kekuatan massa, tetapi melalui pendidikan. Kita harus menyadari bahwa ukuran kebangkitan nasional di era globalisasi ini adalah menjadi bangsa yang modern dan syarat untuk menjadi bangsa modern adalah melalui penguasaan iptek. Akhirnya kata kunci untuk mengakhiri keterpurukan bangsa ini adalah melalui pendidikan, yang diharapkan mampu menghasilkan pribadi yang unggul dan partisipatoris dalam kehidupan masyarakat.

V.    Kesimpulan dan Rekomendasi

A.    Kesimpulan

1.    Globalisasi telah menimbulkan berbagai dampak bagi bangsa Indonesia, baik dampak positif seperti kemajuan dalam bidang iptek, pertumbuhan ekonomi dan peningkatan kecanggihan sarana komunikasi, maupun dampak negatif seperti tumbuhnya sikap individualisme, sikap konsumerisme dan hilangnya jati diri sebagai sebuah bangsa yang berdaulat yang telah mengakibatkan memudarnya semangat nasionalisme pada masyarakat Indonesia.

2.    Memudarnya semangat nasionalisme pada masyarakat Indonesia merupakan ancaman serius terhadap integritas bangsa Indonesia, karena kokohnya integritas bangsa akan ditentukan oleh seberapa besar kualitas semangat nasionalisme yang tertanam dalam diri masyarakat Indonesia sendiri.

3.    Untuk mempertahankan kokohnya integritas bangsa di era globalisasi ini, perlu segera dilakukan langkah-langkah strategis dalam rangka menumbuhkan kembali semangat nasionalisme tersebut pada masyarakat Indonesia, yaitu melalui:
a.    menggagas kembali makna nasionalisme;
b.    pembangunan yang merata dan berkeadilan;
c.    pendidikan yang mencerdaskan bangsa.

B.    Rekomendasi

Semestinya kita sadar bahwa penyelesaian segala permasalahan bangsa ini harus dilakukan melalui penyelesaian kategoris, bukan penyelesaian politis, sehingga akan mampu memberikan solusi dan kita tidak akan terjatuh lagi dalam keadaan ironi, dimana pada satu sisi kita membangun bangsa, tapi pada sisi yang lain kita merubuhkan sendiri bangunan bangsa tersebut. YANG PALING DIBUTUHKAN BANGSA INDONESIA PADA SAAT INI ADALAH TINDAKAN NYATA DARI SEGENAP KOMPONEN BANGSA, BUKAN HANYA SEKEDAR RETORIKA YANG TAK BERMAKNA.